Minggu, 10 Februari 2008

Bidan( Motor Penggerak Yang Langka di Desa)

Bidan diletakkan di garda depan pelayanan kesehatan dasar untuk menurunkan angka kematian ibu. Peran yang sedemikian strategis tidak dibarengi dengan adanya bidan di semua desa.
Suandriyani yang akrab dipanggil Aan (31 ta­hun), bidan di daerah Pe­gantenan Madura, se­tiap harinya disibukkan dengan melayani ibu ha­mil atau balita yang memiliki berbagai ke­luhan dari batuk sampai mencret. Ada periode tertentu ia sedikit ‘stres’ tatkala menangani persalinan yang mengalami gangguan. Jika begitu, dan ia tidak bisa menanganinya, maka ia pun bersiap-siap un­tuk memindahkan pasien. “Kalau ada kesulitan, maka dirujuk ke RSUD,” ujar­nya dalam perbincangan dengan Farmacia. Untunglah, tidak sulit mencari alat transportasi. Dengan sistem kekeluargaan yang kuat, maka ia atau keluarga ibu yang hendak melahirkan dengan mudah mencari pinjaman penduduk yang memi­liki kendaraan. Hari-hari lain, ia sibuk men­data ibu hamil trimester pertama agar kehamilannya tetap dipantau hingga masa persalinan yang tertangani dengan baik. Dan meski kegiatan-kegiatan tersebut menyita waktu dan perhatian, ia meng­aku sangat menikmatinya.

Aan, mungkin tidak menyadari, rutinitas yang dijalaninya sangat berpengaruh terhadap angka kematian ibu di Indo­ne­sia. Dan beban untuk menurunkan angka kematian ibu ini, salah satunya, bahkan yang paling depan, memang terletak pa­da bidan. Perannya strategis sebagai mi­tra perempuan yang memberikan dukung­an saat kehamilan, saat ataupun pasca kelahiran, dan bayi yang baru lahir. Dan Aan adalah satu di antara ribuan bidan de­sa yang terserak di negeri ini.
Program desa siaga yang digulirkan pemerintah juga menempatkan bidan pa­da posisi yang penting. “Bidan desa di­perlukan sebagai motor penggerak desa siaga,” ujar Dra. Harni Koesno, MKM, Ke­tua Umum PP Ikatan Bidan Indonesia.

Sayangnya, dengan peran bidan yang besar tersebut, ternyata tidak semua de­sa terisi bidan. “Dari sekitar 69.957 de­sa di Indonesia hanya ada sekitar 30.236 bidan di desa,” ujar Harni. Pem­beritaan di berbagai media pun me­nga­barkan sejumlah de­sa yang mengeluhkan tidak adanya tenaga kesehatan. Dae­rah-daerah tersebut men­de­sak agar pemerintah menempatkan te­naga kesehatan, se­perti bidan.
Awalnya, sudah ada sekitar 54 ribu bi­dan yang ditempatkan didesa sejak dilaksanakan program penempatan bidan di desa tahun 1989. Namun berangsur-ang­sur pula, bidan berkurang hingga hampir setengahnya. Ada berbagai penyebab bi­dan meninggalkan desa. “Ada yang me­lan­jutkan sekolah, menikah dan meng­ikuti suami, atau mendapat pekerjaan di ko­ta,” ujarnya.

“Selamat Tinggal, Desa”
Desa, terutama de­sa terpencil, nam­pak­­nya be­lum memberikan daya tarik yang cukup besar untuk mengundang te­naga kesehat­an. Dalam situs de­sen­trali­sasi-ke­sehatan diungkapkan berbagai fak­tor yang mempe­ngaruhi rendahnya mi­nat bidan untuk bekerja di desa terpencil, ber­dasarkan peneli­tian So­lihin da­ri Dinas Ke­se­hatan Jam­bi pada ta­hun 2004. Fa­si­li­tas trans­­portasi di desa khu­­­susnya de­­sa terpencil masih menjadi pe­nyebab ter­kendalanya pelaksa­na­an program-program kesehatan yang dilaksa­nakan oleh bidan. Pa­da mu­sim hujan ja­lan menjadi le­bih sulit untuk dilalui. Pa­da­hal me­reka tidak dapat me­nunda waktu pa­sien untuk dirujuk ketika ada kasus darurat.
Selain itu bidan juga dituntut mampu berperan sebagai tokoh atau pemuka ma­syarakat selain peran utamanya dalam me­lak­sa­na­kan upaya-upaya kesehatan di desa yang menjadi wilayah kerja­nya. Tang­gung jawab ini dirasakan sangat be­rat karena keterbatasan kemampuan da­lam memecahkan perma­sa­lahan yang di­ha­dapi di desa terlalu jauh.

Faktor lain yang turut mempengaruhi rendahnya minat bidan bekerja di desa ter­pen­cil masih dalam pengamatan So­li­hin, adalah bangunan ru­mah pe­mon­dok­an bi­dan desa masih kurang layak hu­ni ka­rena keterbatasan dana pem­ba­ngun­an. Din­dingnya ha­nya ter­buat dari papan dan ma­­sih dapat diintip. Lo­ka­sinya ter­ka­dang jauh dari masya­ra­kat bahkan ada yang ter­­letak di tepi kuburan dan di pinggir su­ngai. Hal ini diter­pa­rah dengan kondisi sa­ni­tasi yang buruk. Ketidakpuasan bi­dan terhadap perkembangan karir turut mempengaruhi pada akhirnya mereka heng­kang dari desa.

Aan, mungkin salah satu dari sekian bi­­dan yang tidak merasakan kendala yang cukup berarti saat melaksanakan tu­gasnya. Cerita lain datang dari daerah yang masih berdekatan dengan Jakarta, yaitu Cianjur. Daerah selatan Cianjur ma­sih memiliki kondisi geografis yang cukup sulit. “Untuk pertolongan persalinan, bi­dan harus naik ojek beberapa jam agar sampai ke tempat persalinan,” ujar Tien Atang, Ketua IBI daerah Cianjur kepada Farmacia. Demikian pula jarak dari desa ke puskesmas yang cukup

jauh. Saat ini, ada sekitar 60 desa yang tidak memiliki bidan. Pada akhirnya, 1 bidan harus meng-cover lebih dari satu desa.

Masyarakat juga kadang lebih memilih untuk melakukan persalinan di dukun ber­anak. Apalagi di beberapa daerah, pela­yan­an yang diberikan dukun beranak umumnya berupa ‘paket lengkap’. Si ibu me­lahirkan akan dirawat, ditunggui, atau dimasakkan makanan, hingga masa 40 ha­ri setelah melahirkan. Demikian juga ba­yi yang dilahirkan selama masa tersebut akan dirawat.
Seorang bidan yang pernah ditempat­kan sebagai bidan PTT di daerah Purwa­kar­ta, mengatakan ada hambatan lain yang menyebabkan bidan meninggalkan desa. “Bagaimana berinteraksi dengan ma­­sya­ra­kat merupakan tantangan be­sar,” ujar dia.

Harni mengatakan, bahwa kendala yang dihadapi bidan desa bisa berasal da­ri tiga hal. Kendala pertama adalah ber­­asal dari bidan itu sendiri, seperti ku­rang peka atau kurang adaptasi. Yang lain adalah dari masyarakat seperti partisipasi masyarakat yang ku­rang, sosial bu­da­ya masyarakat, dan pe­ne­rimaan ma­sya­rakat terhadap bidan. Ken­dala ketiga adalah dari pemerintah yang kurang mem­perhatikan keadaan bi­dan di desa, misalnya tempat tinggal, atau kebutuhan hidupnya. “Hal ini harus sama-sa­ma dipi­kir­kan dari tiga dimensi tersebut,” ujar is­tri Prof. Koesno Sas­tro­mihardjo ini.

BEKAL YANG CUKUP

Maka, menurut Harni, sebelum terjun ke desa siaga, bidan harus dibekali de­ngan berbagai hal, yaitu kemampuan un­tuk memberikan pelayanan klinik kebi­dan­an, seperti antenatal care, intranatal care, pertolongan bayi baru lahir, pera­wat­an pasien nifas, dan pelayanan KB. Ke­mampuan khusus yang harus dimiliki bidan adalah identifikasi dan peta kasus wilayah, analisis sosial, serta diagnosa masalah tersebut. Bidan juga harus da­pat memahami sosial budaya ma­sya­ra­kat, menjalani program, dan melakukan adaptasi dengan masyarakat. “Yang sa­ngat penting adalah bidan harus bisa ber­adaptasi dengan masyarakat dan tinggal dengan masyarakat. Jadi, bidan desa bu­kan tinggal di kota. Sebagai motor penggerak desa siaga, bidan harus bersama dengan masyarakat,” ujar wanita kelahir­an Magetan ini.

Yang tak kalah penting, terkait dengan proses persalinan, bidan harus dapat meng­upayakan donor darah, jika ada perdarahan saat persalinan. Bidan juga ha­rus dapat mengupayakan tersedianya ken­daraan jika nantinya ada rujukan. “Di­upayakan untuk dapat melakukan koordinasi pengadaan kendaraan, misalnya de­ngan mendata anggota masyarakat yang memiliki alat transportasi,” ujar ibu 4 anak ini.

Pendidikan di akademi kebidanan, bo­leh dikatakan adalah untuk pencapaian akademik yang belum sampai pada kompetensi program. “Untuk menjadi bidan di desa siaga, diperlukan tambahan pelatih­an tersendiri,” ujar Harni. Saat ini sudah tersedia modul di pusdiklat depkes. “Jika dilihat kurikulumnya, sudah standar ideal, jadi bidan bisa ditempatkan di tempat yang sudah memiliki UKBM (Upaya Ke­sehatan Berbasis Masyarakat) atau yang bakal merintis UKBM.”

Harni optimis kebutuhan bidan yang di­perlukan dalam rangka program desa siaga akan dapat terpenuhi. “Tenaga ke­bidanan bisa dipenuhi dari institusi pendidikan yang cukup banyak, sekitar 412 D3 kebidanan,” katanya. “Program dari Depkes juga begitu kuat, jadi kolabora­si­nya melibatkan multi sektor, jadi baik di­nas kesehatan atau pengurus IBI juga terlibat untuk pemenuhan kebutuhan desa.”
Kebutuhan bidan juga bisa dipenuhi dari bibit daerah. Di Cianjur, sebanyak 39 lulusan SLTA disekolahkan pendidikan bi­dan di Bandung, untuk lalu kembali ke de­sa dan mengelola kesehatan di daerah asal­nya.