Bidan diletakkan di garda depan pelayanan kesehatan dasar untuk menurunkan angka kematian ibu. Peran yang sedemikian strategis tidak dibarengi dengan adanya bidan di semua desa.
Suandriyani yang akrab dipanggil Aan (31 tahun), bidan di daerah Pegantenan Madura, setiap harinya disibukkan dengan melayani ibu hamil atau balita yang memiliki berbagai keluhan dari batuk sampai mencret. Ada periode tertentu ia sedikit ‘stres’ tatkala menangani persalinan yang mengalami gangguan. Jika begitu, dan ia tidak bisa menanganinya, maka ia pun bersiap-siap untuk memindahkan pasien. “Kalau ada kesulitan, maka dirujuk ke RSUD,” ujarnya dalam perbincangan dengan Farmacia. Untunglah, tidak sulit mencari alat transportasi. Dengan sistem kekeluargaan yang kuat, maka ia atau keluarga ibu yang hendak melahirkan dengan mudah mencari pinjaman penduduk yang memiliki kendaraan. Hari-hari lain, ia sibuk mendata ibu hamil trimester pertama agar kehamilannya tetap dipantau hingga masa persalinan yang tertangani dengan baik. Dan meski kegiatan-kegiatan tersebut menyita waktu dan perhatian, ia mengaku sangat menikmatinya.
Aan, mungkin tidak menyadari, rutinitas yang dijalaninya sangat berpengaruh terhadap angka kematian ibu di Indonesia. Dan beban untuk menurunkan angka kematian ibu ini, salah satunya, bahkan yang paling depan, memang terletak pada bidan. Perannya strategis sebagai mitra perempuan yang memberikan dukungan saat kehamilan, saat ataupun pasca kelahiran, dan bayi yang baru lahir. Dan Aan adalah satu di antara ribuan bidan desa yang terserak di negeri ini.
Program desa siaga yang digulirkan pemerintah juga menempatkan bidan pada posisi yang penting. “Bidan desa diperlukan sebagai motor penggerak desa siaga,” ujar Dra. Harni Koesno, MKM, Ketua Umum PP Ikatan Bidan Indonesia.
Sayangnya, dengan peran bidan yang besar tersebut, ternyata tidak semua desa terisi bidan. “Dari sekitar 69.957 desa di Indonesia hanya ada sekitar 30.236 bidan di desa,” ujar Harni. Pemberitaan di berbagai media pun mengabarkan sejumlah desa yang mengeluhkan tidak adanya tenaga kesehatan. Daerah-daerah tersebut mendesak agar pemerintah menempatkan tenaga kesehatan, seperti bidan.
Awalnya, sudah ada sekitar 54 ribu bidan yang ditempatkan didesa sejak dilaksanakan program penempatan bidan di desa tahun 1989. Namun berangsur-angsur pula, bidan berkurang hingga hampir setengahnya. Ada berbagai penyebab bidan meninggalkan desa. “Ada yang melanjutkan sekolah, menikah dan mengikuti suami, atau mendapat pekerjaan di kota,” ujarnya.
“Selamat Tinggal, Desa”
Desa, terutama desa terpencil, nampaknya belum memberikan daya tarik yang cukup besar untuk mengundang tenaga kesehatan. Dalam situs desentralisasi-kesehatan diungkapkan berbagai faktor yang mempengaruhi rendahnya minat bidan untuk bekerja di desa terpencil, berdasarkan penelitian Solihin dari Dinas Kesehatan Jambi pada tahun 2004. Fasilitas transportasi di desa khususnya desa terpencil masih menjadi penyebab terkendalanya pelaksanaan program-program kesehatan yang dilaksanakan oleh bidan. Pada musim hujan jalan menjadi lebih sulit untuk dilalui. Padahal mereka tidak dapat menunda waktu pasien untuk dirujuk ketika ada kasus darurat.
Selain itu bidan juga dituntut mampu berperan sebagai tokoh atau pemuka masyarakat selain peran utamanya dalam melaksanakan upaya-upaya kesehatan di desa yang menjadi wilayah kerjanya. Tanggung jawab ini dirasakan sangat berat karena keterbatasan kemampuan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi di desa terlalu jauh.
Faktor lain yang turut mempengaruhi rendahnya minat bidan bekerja di desa terpencil masih dalam pengamatan Solihin, adalah bangunan rumah pemondokan bidan desa masih kurang layak huni karena keterbatasan dana pembangunan. Dindingnya hanya terbuat dari papan dan masih dapat diintip. Lokasinya terkadang jauh dari masyarakat bahkan ada yang terletak di tepi kuburan dan di pinggir sungai. Hal ini diterparah dengan kondisi sanitasi yang buruk. Ketidakpuasan bidan terhadap perkembangan karir turut mempengaruhi pada akhirnya mereka hengkang dari desa.
Aan, mungkin salah satu dari sekian bidan yang tidak merasakan kendala yang cukup berarti saat melaksanakan tugasnya. Cerita lain datang dari daerah yang masih berdekatan dengan Jakarta, yaitu Cianjur. Daerah selatan Cianjur masih memiliki kondisi geografis yang cukup sulit. “Untuk pertolongan persalinan, bidan harus naik ojek beberapa jam agar sampai ke tempat persalinan,” ujar Tien Atang, Ketua IBI daerah Cianjur kepada Farmacia. Demikian pula jarak dari desa ke puskesmas yang cukup
jauh. Saat ini, ada sekitar 60 desa yang tidak memiliki bidan. Pada akhirnya, 1 bidan harus meng-cover lebih dari satu desa.
Masyarakat juga kadang lebih memilih untuk melakukan persalinan di dukun beranak. Apalagi di beberapa daerah, pelayanan yang diberikan dukun beranak umumnya berupa ‘paket lengkap’. Si ibu melahirkan akan dirawat, ditunggui, atau dimasakkan makanan, hingga masa 40 hari setelah melahirkan. Demikian juga bayi yang dilahirkan selama masa tersebut akan dirawat.
Seorang bidan yang pernah ditempatkan sebagai bidan PTT di daerah Purwakarta, mengatakan ada hambatan lain yang menyebabkan bidan meninggalkan desa. “Bagaimana berinteraksi dengan masyarakat merupakan tantangan besar,” ujar dia.
Harni mengatakan, bahwa kendala yang dihadapi bidan desa bisa berasal dari tiga hal. Kendala pertama adalah berasal dari bidan itu sendiri, seperti kurang peka atau kurang adaptasi. Yang lain adalah dari masyarakat seperti partisipasi masyarakat yang kurang, sosial budaya masyarakat, dan penerimaan masyarakat terhadap bidan. Kendala ketiga adalah dari pemerintah yang kurang memperhatikan keadaan bidan di desa, misalnya tempat tinggal, atau kebutuhan hidupnya. “Hal ini harus sama-sama dipikirkan dari tiga dimensi tersebut,” ujar istri Prof. Koesno Sastromihardjo ini.
BEKAL YANG CUKUP
Maka, menurut Harni, sebelum terjun ke desa siaga, bidan harus dibekali dengan berbagai hal, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan klinik kebidanan, seperti antenatal care, intranatal care, pertolongan bayi baru lahir, perawatan pasien nifas, dan pelayanan KB. Kemampuan khusus yang harus dimiliki bidan adalah identifikasi dan peta kasus wilayah, analisis sosial, serta diagnosa masalah tersebut. Bidan juga harus dapat memahami sosial budaya masyarakat, menjalani program, dan melakukan adaptasi dengan masyarakat. “Yang sangat penting adalah bidan harus bisa beradaptasi dengan masyarakat dan tinggal dengan masyarakat. Jadi, bidan desa bukan tinggal di kota. Sebagai motor penggerak desa siaga, bidan harus bersama dengan masyarakat,” ujar wanita kelahiran Magetan ini.
Yang tak kalah penting, terkait dengan proses persalinan, bidan harus dapat mengupayakan donor darah, jika ada perdarahan saat persalinan. Bidan juga harus dapat mengupayakan tersedianya kendaraan jika nantinya ada rujukan. “Diupayakan untuk dapat melakukan koordinasi pengadaan kendaraan, misalnya dengan mendata anggota masyarakat yang memiliki alat transportasi,” ujar ibu 4 anak ini.
Pendidikan di akademi kebidanan, boleh dikatakan adalah untuk pencapaian akademik yang belum sampai pada kompetensi program. “Untuk menjadi bidan di desa siaga, diperlukan tambahan pelatihan tersendiri,” ujar Harni. Saat ini sudah tersedia modul di pusdiklat depkes. “Jika dilihat kurikulumnya, sudah standar ideal, jadi bidan bisa ditempatkan di tempat yang sudah memiliki UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) atau yang bakal merintis UKBM.”
Harni optimis kebutuhan bidan yang diperlukan dalam rangka program desa siaga akan dapat terpenuhi. “Tenaga kebidanan bisa dipenuhi dari institusi pendidikan yang cukup banyak, sekitar 412 D3 kebidanan,” katanya. “Program dari Depkes juga begitu kuat, jadi kolaborasinya melibatkan multi sektor, jadi baik dinas kesehatan atau pengurus IBI juga terlibat untuk pemenuhan kebutuhan desa.”
Kebutuhan bidan juga bisa dipenuhi dari bibit daerah. Di Cianjur, sebanyak 39 lulusan SLTA disekolahkan pendidikan bidan di Bandung, untuk lalu kembali ke desa dan mengelola kesehatan di daerah asalnya.
Minggu, 10 Februari 2008
Langganan:
Postingan (Atom)